Hujan, di mobil ternyata tidak langsung mengantar saya ke kosan. Kamu memang menyebalkan. Alih-alih menjemput saya dari Stasiun dengan persiapan matang. Saya kira saya bisa langsung tidur di seat kiri dan mendengarkan lagu pengiring lewat radio mobil.
“KENAPA SIH GA DICEK SEBELUM JEMPUT AKU, KAMUTU YA RESE”
“Saya mana tau, saya cek sebentar ya. Kamu di dalam saja. Di luar gerimis"
Anggukan saya isyarat setuju. Padahal baru beberapa menit keluar dari Stasiun Hall, iya saya ke Bandung ada beberapa hal yang harus saya urus disini.
Ternyata perkara habis bensin, rasanya ingin marah namun tertahan karena alasan sudah dijemput saja saya sudah bersyukur daripada saya harus naik angkot sampai kosan malam-malam.
akhirnya setelah 30 menit Ia datang dengan bensin dibotol besar kemasan air mineral ternama.
“Beli bensin di Tangerang ya?”
“Ke Tangerang ga cukup setengah jam dari sini ai kamu”
“Kenapasih ngebales terus, udah tau salah”
“Gausah manyun gitu jelek, udah selesai kok. Maaf ya”
Senyum itu mengambang, di wajah saya. Pipi saya mengahangat. Padahal Bandung sedang Hujan.
“Makan dulu yuk, kamu pasti lapar kan?”
“Aku capek, kita bisa langsung ke kosan aku aja nga?”
“Kamu makan dulu, biar tidurnya enak. Oke?”
“Enggak”
“Bubur kok, masa nolak? Katanya ada yang enak. Mau ya mau ya mau ya?”
“Akutu mana bisa nolak kamu sih”
“Hahaha lets gooo!”
“Tapi ga bubur boleh ga? Aku mau nasi goreng aja”
“Permintaan dikabulkan, Nona”
Kami jalan melewati Jl. Otto Iskandardinata, sampai tiba di Jl. Dalem Kaum, Balonggede. Jalan yang familiar, saya menebak-nebak dalam hati. Ternyata benar, ini mengarah ke Alun-alun.
“Kok ke alun-alun sih? aku request nasi goreng lho”
“Disini aja, pasti kamu kangen kan sama alun-alun”
“Oh you wish”
“Tunjuk yang mana, saya siap bayarin”
“Rese ya yang udah bisa bayarin sekarang”
Ia tertawa tergelak, merayakan kemenangannya. Pasrah -pun senang saya menarik tanggannya menuju area pedagang.
Kami duduk di bangku panjang tak jauh dari Masjid Agung Bandung, atas permintaanku tentu saja.
“A aku mau pesan.....”
“.....nasi goreng pedas daunnya sedikit aja pakai acar yang banyak”
“Reseeee, harusnya aku yang bilang”
“Kalah cepat kamu sama saya”
“Kok ga pamer, bahasa sunda kamu ke Aa nasi gorengnya?”
“Gausah, kamu kan juga sudah tau”
“Reseeee, ini tuh kata rese ke berapa ya yang aku lontarin ke kamu malam ini”
“Gapapa, saya senang. Kamu panggil saya apa saja juga saya senang”
Malam itu gerimis, tenda nasi goreng, di bangku panjang kayu, dua porsi nasi goreng, setoples kerupuk “all you can eat” teh tawar hangat dan kamu. Bandung tidak lagi dingin. Saya dihanggatkan sikap kamu malam ini.
“KENAPA SIH GA DICEK SEBELUM JEMPUT AKU, KAMUTU YA RESE”
“Saya mana tau, saya cek sebentar ya. Kamu di dalam saja. Di luar gerimis"
Anggukan saya isyarat setuju. Padahal baru beberapa menit keluar dari Stasiun Hall, iya saya ke Bandung ada beberapa hal yang harus saya urus disini.
Ternyata perkara habis bensin, rasanya ingin marah namun tertahan karena alasan sudah dijemput saja saya sudah bersyukur daripada saya harus naik angkot sampai kosan malam-malam.
akhirnya setelah 30 menit Ia datang dengan bensin dibotol besar kemasan air mineral ternama.
“Beli bensin di Tangerang ya?”
“Ke Tangerang ga cukup setengah jam dari sini ai kamu”
“Kenapasih ngebales terus, udah tau salah”
“Gausah manyun gitu jelek, udah selesai kok. Maaf ya”
Senyum itu mengambang, di wajah saya. Pipi saya mengahangat. Padahal Bandung sedang Hujan.
“Makan dulu yuk, kamu pasti lapar kan?”
“Aku capek, kita bisa langsung ke kosan aku aja nga?”
“Kamu makan dulu, biar tidurnya enak. Oke?”
“Enggak”
“Bubur kok, masa nolak? Katanya ada yang enak. Mau ya mau ya mau ya?”
“Akutu mana bisa nolak kamu sih”
“Hahaha lets gooo!”
“Tapi ga bubur boleh ga? Aku mau nasi goreng aja”
“Permintaan dikabulkan, Nona”
Kami jalan melewati Jl. Otto Iskandardinata, sampai tiba di Jl. Dalem Kaum, Balonggede. Jalan yang familiar, saya menebak-nebak dalam hati. Ternyata benar, ini mengarah ke Alun-alun.
“Kok ke alun-alun sih? aku request nasi goreng lho”
“Disini aja, pasti kamu kangen kan sama alun-alun”
“Oh you wish”
“Tunjuk yang mana, saya siap bayarin”
“Rese ya yang udah bisa bayarin sekarang”
Ia tertawa tergelak, merayakan kemenangannya. Pasrah -pun senang saya menarik tanggannya menuju area pedagang.
Kami duduk di bangku panjang tak jauh dari Masjid Agung Bandung, atas permintaanku tentu saja.
“A aku mau pesan.....”
“.....nasi goreng pedas daunnya sedikit aja pakai acar yang banyak”
“Reseeee, harusnya aku yang bilang”
“Kalah cepat kamu sama saya”
“Kok ga pamer, bahasa sunda kamu ke Aa nasi gorengnya?”
“Gausah, kamu kan juga sudah tau”
“Reseeee, ini tuh kata rese ke berapa ya yang aku lontarin ke kamu malam ini”
“Gapapa, saya senang. Kamu panggil saya apa saja juga saya senang”
Malam itu gerimis, tenda nasi goreng, di bangku panjang kayu, dua porsi nasi goreng, setoples kerupuk “all you can eat” teh tawar hangat dan kamu. Bandung tidak lagi dingin. Saya dihanggatkan sikap kamu malam ini.
Komentar
Posting Komentar